TELUSURI
LAUTAN ISTILAH
“Sebaiknya istilah ‘Teroris Islam’
diganti dengan istilah ‘Teroris Ideologis’ agar mencakup teroris Pendeta
Yahudi yang menyerukan pembantaian wanita-wanita dan anak-anak Palestina,
teroris Budha di Myanmar, teroris Kristen di Afrika Tengah, teroris Sekuler
yang rasis Nazi gaya baru di Eropa, dan teroris Neo-Khawarij saat ini.
Sehingga, semua orang yang berakal dapat sama-sama menghadapi terorisme ini.” —Habib Ali al-Jufri
B
|
erangkat dari diskomunikasi antar
masyarakat mengenai suatu istilah baru. Muncul istilah baru, bermunculan pula
pelbagai pendapat terkait istilah itu disana-sini. Dari obrolan kopi darat
biasa hingga debat kusir yang semakin merajalela. Semisal muncul istilah “Islam
Nusantara” yang digaungkan Nahdlatul Ulama (NU) saat detik-detik Muktamarnya
yang ke-33 di Jombang, Jawa Timur pada 01-05 Agustus 2015. Saat muncul
dipermukaan, ada semacam kekagetan dibenak sebagian orang. Padahal sebelum
Islam Nusantara ada, beberapa istilah pernah bermunculan juga, hanya saja tak
sempat diperdebatkan. Diantaranya; Pribumisasi Islam-nya Gus Dur (KH.
Abdurrahman Wahid), Fiqh Indonesia-nya Hasbi Ash-Shiddiqie dan Islamisasi
Pribumi-nya Cak Nur (Nurcholish Madjid). Maaf gak bawa-bawa bendera ya,
haha―bagi
mahasiswa pasti pada ngerti dah.
Banyak
yang mendukung Islam Nusantara dengan penuh harapan, banyak pula yang menghujat
habis-habisan. Sebagian mengkritik, sebagian lain menghardik. Ada kritik yang
konstruktif ada juga yang dekstruktif. Para pakar dibidangnya, contoh Kiai, tak
ketinggalan menjelaskan maksud dari istilah Islam Nusantara dari berbagai
perspektif agar masyarakat tak salah paham. Ada yang menggalinyadari ruang
lingkup Tauhid/teologinya,mengupasnyadari kulit Fiqh/yurisprudensi Islam atau
Ushul Fiqh-nya, lalu membuka tabirnya dari arah Tasawuf-nya. Bahkan ada yang
hanya membahasnya dari pandangan ilmu nahwu (gramatika bahasa Arab). Namun yang
patut disayangkan, menurut saya, kurang tertariknya sebagian masyarakat untuk memahami
istilah Islam Nusantara atau mungkin masa bodoh tak mau tahu?
Hingga muncul tuduhan bahwa Islam
Nusantara adalah kelanjutan project penyebaran paham dari JIL yang
sering disebut JIN (Jamaah Islam Nusantara). Masya Allah.. terlepas dari
benar atau tidaknya, saya rasa lebih bijak jika kita mengambil positifnya saja.
Berprasangka baik. Mungkin tak mau membiarkan kekacauan diskomunikasi yang
terjadi juga disekitar penulis, penulis pun memosting dua status di facebook
yang berkaitan dengan itu:
Bacalah sampai tuntas
'Menontonlah sampai puas'
Supaya tak salah komunikasi
Supaya 'teu salah sangki'
Karena malas membaca, pejabat bisa
terjerat korupsi,
Sebab tak sabar menunggu, seseorang jadi 'pergi'..
Dulu kau datang berlari
Sekarang kau ingin sembunyi
Mana perkasamu?
Mana merahmu?
Dahulukan dialog bila perlu
Ketimbang nyebut 'goblog' buru-buru
Pakai prinsip 'berat sama dipikul-ringan sama dijinjing'
Daripada ceplas-ceplos bilang 'anjing'
Bukankah Bang I'Fals berkata;
"Jika kata tak lagi bermakana lebih baik diam saja!"
Sebelumnya Rasul pun pernah bersabda;
"Katakanlah kebaikan atau diamlah jika tidak bisa"
Menaruh harapan dari niat baik
peluncuran jargon Islam Nusantara untuk peradaban Islam di Indonesia dan
seluruh dunia. Sampai-sampai saya pun ikut nimbrung, tak ingin ketinggalan
membahas Islam Nusantara walaupun tak menyebut istilah itu dengan frontal.
Semoga status facebook saya berikut ini bermanfaat dan mohon untuk tidak
salah paham dulu ya lur:
Dekati aku dengan "salam",
Amati aku dengan "damai",
Cermati aku dengan "santai" jangan grasa-grusu seolah tak ada waktu..
Pelan-pelan kau suapi aku nutrisi 5 Sempurna bernama "islam" dengan
"sejahtera",
Perlakukan aku dengan "hati-ke-hati" dan penuh "sentosa".
AJAKlah dulu untuk "masuk" dan suguhi
hidangan yang ENAK,
Bukan diBENTAK apalagi sampai diinjak-injak yang
membuat orang MUAK!
RANGKULlah dulu, bilaperluusaplah dengan
hangatdanlembut,
BukandiPUKULapalagisalingmenjambakrambut!
BINAlahdulu dengan SABAR; perlahantapipasti,
BukandiHINA, dicercadandicaci-maki!
Nasehatilah dengan penuh CINTA dan KASIH SAYANG,
sebagaiwujudpengabdian kepadaTuhan,
Bukan diSAKITI hingga terbayang-bayang, ditambah beban
berupa BUALAN!
Asimilasi tradisi
yang
sesuai; amputasi tradisi
yang
kurang cocok; minimalisasi tradisi yang bertentangan,
Bukan menggebyah-uyahkan tradisi itu sesat dan langsung dihabisi!
Jadilah CONTOH TELADAN, tak peduli pemimpin atau bukan
Membisulah ketimbang menCEMOOH dan HANYA OMONGAN!
Lah kok jadi ngebahas Islam
Nusantara ya? Ntos ah, urang alih fokus, heuheu.
Sejatinya bukan hanya istilah
Islam Nusantara doang yang luas maknanya. Kata atau istilah shalat saja punya
banyak arti. Ada yang mengartikan shalat dari sisi huruf Arabnya saja, seperti
yang penulis dapat dari Kang Ayi, begitu beliau akrab disapa dikobong beliau saat berkunjung ke Pondok
Pesantren Tarbiyatul Huda-Kedungmundu, Kecamatan Kutawaluya, Kabupaten Karawang
satu tahun yang lalu. Kami bicara ngaler-ngidul, membahas apa saja
berita atau kabar yang masih hangat maupun yang sudah usang. Tiba-tiba nyambung
ke urusan shalat. Mungkin beliau tahu kondisi hati penulis yang sedang galau
ditinggal cinta, heuheu, lantas beliau mengutarakan makna dari ‘shalat’.
Kata beliau,
“Shalat itu; shad-nya shidq al-qauli, lam-nya layyin
al-qalbi, ta-nya tarik al-ma’ashi” Saya langsung
melek mendengar kata asing itu “Apa tuh artinya tadz?” Dengan senyum
yang tak melunturkan wibawanya beliau menjelaskan, “Shidq al-qauli itu artinya
orang yang shalat harusnya benar setiap perkataannya. Tak berani
berdusta, tak mudah ghibah, memfitnah orang dan seenaknya mengadu domba
manusia. Kedua, layyin al-qalbi itu artinya orang yang sudah shalat mestinya lembut
hatinya. Mudah menerima kebenaran, tidak somse. Pendeknya tawadhu’.
Ketiga, tarik al-ma’ashi. Nah, ini yang paling sulit bin susah alias hese
ngamalinnya. Meninggalkan segala maksiat, baik maksiat kepada Allah dan
kepada siapa pun. Orang yang sudah shalat kudunya mah bisa melakukan
ketiga-tiganya..”
Sekelumit pengertian sederhana
namun berbobot tersebut membuat penulis kagum dan baru sadar, “O, ternyata
berbagai istilah atau kalimat gak cuma satu pengertian saja. Tapi bisa jadi ada
pengertian lain entah dua atau tiga sampai puluhan bahkan ribuan pengertian!”
Memang
benar juga kata Bang Haji, eh, gak usah pake Bang Haji dah. Pan Rhoma Irama
sudah mewakili kata ‘Raden Haji’ Oma Irama, begitu katanya. Lain lubuk, lain airnya, lain pula
ikannya; lain orang, lain kepala, lain pula hatinya.
Ketika penulis dengar kata ‘tarik
al-ma’ashi’ penjelasan ta-nya shalat yang diucapkan Kang Ayi tadi,
penulis jadi ingat ucapan Ust. Ian, tapi bukan Ian Kasela ya haha. Nama
lengkapnya Ust. Sofyan Sauri. Pernah beliau sampaikan tentang makna dari kata
‘santri’. Itu pun dari segi huruf Arabnya. Mengacu pada buku saku milik salah satu
Pondok Pesantren di Jepara-Jawa Tengah asuhan Kiai Taufiq pengarang kitab Amtsilati.
Beliau, Ust. Ian, paparkan arti dari ‘santri’.
“Hakikatnya
santri itu; Satirun ‘an al-‘uyub, menutupi aib-aib. Amar al-ma’ruf,
mengajak dan menyuruh untuk berbuat kebajikan. Nahy al-munkar, mencegah
dan menjauhi perbuatan yang berbau kemungkaran. Tarik al-ma’ashi,
meninggalkan segala macam kemaksiatan. Raghib ‘an al-khair, suka
terhadap hal-hal yang baik. Dan Ihfazh al-kulliyyat al-khams, menjaga
dan memelihara al-kulliyyat al-khams.”
Penulis
bertanya soal kalimat akhir, “Apa itu al-kulliyat al-khams Pak
Ustadz?”
“Dalam
kajian Ushul Fiqh atau Epistemologi Hukum Islam al-kulliyyat al-khams dapat
diartikan ‘Panca Prinsip Universal/HAM’ yang mencakup lima perlindungan.”
“Apa
saja lima perlindungan itu Pak?”
“Pertama;
hifzhu-d-din, perlindungan agama. Artinya, tidak ada paksaan dalam
memeluk agama, keyakinan atau kepercayaan tertentu. Kedua; hifzhu-n-nafs,
perlindungan jiwa. Artinya, tidak dibenarkan melukai apalagi membunuh tanpa
hak, seperti kejahatan terorisme dan pengonsumsian narkoba. Ketiga; hifzhu-n-nasl,
perlindungan keturunan. Berarti tidak dibenarkan free sex, prostitusi,
eksploitasi seksual anak-anak dibawah umur dan LGBT.”
“LGBT?”
tanya penulis dengan sangat heran.
“Haduuh,
ozan. Kamu ini masih muda bib.. masa kurang tau ama kalimat gituan sih?
harusnya lebih update atuh daripada bapak haha”
“LGBT
itu singkatan dari Lesbian-Guy-Biseksual-Transgender.”
“Nah
kalau Guy mah saya tahu Pak Ustadz” polos Galang, teman sepengajian,
menjawab.
“Apa
gitu Guy teh?” timpal Iqbal, kawan yang lain, minta penjelasan.
“Guy tuh
gurunya si Rock Lee yang ngelatih ilmu ula renge. Panggilannya ‘Si Alis
Tebal’ yang punya semangat muda, lebih dari semangat ’45. Hihihi” jawab Galang,
yang memang seorang penyuka kartun Naruto, dengan tawa kecilnya.
“Euleuh....
ari maneh!” tukas Acep, sahabat yang lain berpeawakan paling besar diantara
teman-teman sepengajian, sambil mencubit pinggang Galang. “Minta maaf ke Pak
Ustadz!”
“Maaf ya
Pak Ustadz..” mohon Galang dengan masih mempertahankan tawa kecilnya yang
sampai kelihatan kempot dipipinya mirip Afgan.
“Iya
dimaafkan, kalian ini ada-ada saja hahaha” perkataan yang mencairkan suasana
dari Pak Ustadz dengan tidak melepas tawa lepasnya yang menggelikan.
Beberapa
jenak Ust Ian diam, dan langsung berkata sambil mengagetkan kami dengan
menyentak mejanya, “Lanjut ya?!”
“***aaanj***t! Eh
lanjut” kaget Mak Ipah, neneknya Acep yang kebetulan sedang meracik masakan
buat anak murid nanti selepas ngaji. Mak Ipah punya sindrom penyakit gehreran/kagetan.
Jadi, kalau denger suara atau apapun yang mengagetkan dia, pasti Mak Ipah
otomatis bilang sesuatu yang ... ah sudahlah (gaya Babe SUCI 4) heuheu
“Astaghfirullaaaaaah
si Emaak Mak......” sahut berjamaah segenap orang yang ada di tempat pengajian
dengan dihiasi tawa dan senyum sungging penuh arti.
Sejurus
kemudian Ust. Ian malah bertanya sambil tersipu malu-malu cacing eh kucing,
“Ya ..
sekarang yang ke ... berapa ya? hehe”
“Keempaaaaat..!”
sahut-menyahut murid-murid.
“Ok.
Yang keempat; hifzhu-l-‘aql, perlindungan akal. Itu artinya kita bebas
berpendapat. Oleh karena itu tidak dibenarkan truth claim . . .”
Belum
tuntas Ust. Ian membeberkan bagian yang keempat, Bagas, saudara Galang,
keheranan dengan kalimat, “truth claim itu apa sih Pak?”
“Truth
claim itu klaim kebenaran”
“Maksudnya
bagaimana Pak?” Bagas dan Galang bertanya serentak.
“Merasa
benar sendiri. Dia merasa tidak ada pendapat, fatwa, pemikiran lain yang benar
selain dia dan mazhabnya, misalkan.”
“Wah ...
somse amat tuh orang, si Amat aja gak somse” Adam mulai bicara.
“Udah
mah somse, sombong sekali, ditambah amat lagi haha sekalian pake
‘b-g-t’ aja Dem heuheu” Mughib berkelakar. Lalu seketika disambut dengan
kalimat,
“Krik
krik krik krik krik krik krik krik krik” Ucap hampir berbarengan teman-teman
sepengajian diiringi gelak tawa canda. Si Mughib pun tersenyum kecut.
“Iya
betul Dam, Ghib ... Padahal Bang I’Fals,”
Dicky
memotong dengan bertanya sangat detail, “Bang I’Fals? Siapa itu Pak?
Saudara Bapak? Kakak? Paman? Sahabat? Kawan seperjuangan? Rekan bisnis?” ya..
kebiasaan lama dia
“Singkatan
dari Iwan Fals Kiy,”
“Widiiiiih
si Bapak, tau juga ke Iwan Fals, hebring euy” Ceria Beben, fans OI-Iwan
Fals, yang sejak awal ngaji terlihat murung.
“Terus
kenapa tah Bang I’Fals Pak?” antusias Beben tak sabar mengdengar jawaban
Ust. Ian.
“Padahal
kan Bang I’Fals pernah bilang ‘Jika kata tak lagi bermakna lebih baik diam
saja’,”
“O, iya
iya Pak, bener ... saya pernah denger dan sempet baca di facebook” Beben
seorang yang sering fb-an. Sering dapet info konser Iwan Fals di grup facebook
para fans Iwan Fals bernama OI.
“Jauuuuh
sebelumnya, ribuan tahun yang lalu Rasulullah,”
“Shallallahu
‘alaihi wa sallam!” sontak para murid.
“Pernah
bersabda; ‘Man kana yu`minu billahi wal-yaumil-akhir, fal-yaqul khairan au
liyaskut.’,”
“Artinya??”
“‘Barang
siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka berkatalah yang
mengandung hal-hal kebaikan, jikalau tidak bisa, ya sudah diamlah!’,”
“Begitu
kira-kira artinya ...”
“Hmmm
...” teringai Iqbal meneliti sedikit ada yang rancu dengan penjelasan Ust. Ian,
begitu perasaannya bicara.
“Lho eh,
perasaan kurang nyambung deh sama pembahasan orag yang sok benar sendiri tadi
Pak??” tanya Iqbal.
“Aeh ...
iya emang? Perasaan .. nyambung deh Bal? Hehe,”
“Jadi
maksud Bapak, orang yang asa aing pangbenerna perlahan-lahan dia akan
menghujat dulu siapa pun yang berbeda pendapat, pemikiran atau keyakinan
dengannya. Lalu dia ngajak debat. Dalam debatnya pasti tak lepas dari cacian
yang menyakitkan hati. Hingga pendapatnya, misalkan, kalah/lemah ketimbang
pendapat orang lain, dia masih saja mengoceh lalu menghina dengan membabi
buta,”
“Nah itu
maksud Bapak. Padahal kan tadi tea, Bang I’Fals bahkan Rasulullah
sekalipun sudah memperingatkan bahwa berkatalah yang benar kalau tidak mampu ya
diamlah.”
“Pernah
Sunan Kalijaga berpesan; ‘dadi wong sing iso rumongso, lan dadi wong sing
rumongso iso’,”
“Bahasa
apa itu Pak?”
“Bahasa
Jawa. Artinya, ‘jadilah orang yang bisa merasa, bukan merasa bisa’,”
“Kalau
boleh Bapak bilang, ada pepatah Sunda juga yang mengatakan; ‘ulah asa, tapi
kudu rumasa’,”
“Arti
bebasnya; ‘jangan merasa bahwa kita segalanya, tapi justru kita harus bisa merasa’,”
“merasa
keprihatinan polemik didalam masyarakat. Sama-sama merasa kepahitan hidup
seorang fakir-miskin. Intinya sih kita kudu rendah hati dan rajin berkaca ...”
Belum
beres Ust. Ian bicara, Acep langsung meledek Galang, “Tuh Pak, orang yang sering
ngaca tapi mukanya gak ganteng ganteng hahahaha”
Ust. Ian
geleng-geleng.
“Maksud
Bapak, introspeksi diri. Muhasabah. Koreksi apa saja yang membuat kita
terpuruk. Terpuruk dalam hal perilaku, ilmu dan ibadah utamanya.”
“Iya Pak
Ustadz ...”
“Terus
yang kelima apa Pak?”
“Kelima;
hifzhu-l-mal, perlindungan terhadap harta. Itu berarti tidak dibenarkan
mencuri, mencopet, mengutil, termasuk meng-ghasab apalagi korupsi.”
Itu ceritaku, apa ceritamu?
Heuheu
Lha kok jadi nostalgia gini ya?
Heuheu
Selaras dengan
cerita tersebut yang membahas tentang hakikat istilah ‘santri’ dari segi huruf
dan bahasa Arabnya, nyatanya kata santri pun masih ada lagi makna lainnya.
Kata
santri dari segi bahasa asalnya, Sansekerta, oleh K. Ng. H. Agus Sunyoto paparkan
bahwa kata santri merupakan adaptasi dari istilah sashtri yang
bermakna orang-orang yang mempelajari kitab suci (sashtra) sebagaimana
dikemukakan C.C.Berg (dalam Gibb, 1932:257).
Sashtri itu orang yang bergelut dan berkecimpung dalam dunia kesusasteraan, tidak
lepas dari kitab/buku serta kegiatan membaca dan tulis-menulis. Bisa dibilang
sastrawan lha.
Bahasa Arabnya sudah. Bahasa
Sansekerta juga sudah. Ternyata eh ternyata, kata santri jika ditelisik dari
bahasa Inggris ada juga lho sob. Penulis pernah mosting status pada
dinding facebook (dengan sentuhan tulisan yang alay alay gimanaa gitu
heuheu) sebagai berikut,
“SANTRI” =
“SUN~THREE” = “THREE SUNS” = “TIGA MATAHARI” > “TIGA CAHAYA”:
*_Cahaya IMAN_*
> Tauhid { Ma’rifat } > “Kenalan” tentang Allah SWT dsb.
*_Cahaya ISLAM_*
> Fiqih { Syari’at } > “P.D.K.T”/“Pendekatan” atau “Pengen Deket Ke
Tuhan”
*_Cahaya IHSAN_*
> Tasawuf { Haqiqat } > “Hubungan” dengan Allah SWT.
~*~
Menjadi seorang
“Santri” (Para Pencari Ilmu) insya Allah akan tersinari oleh tiga cahaya tersebut.
[Aamiin] Maka jangan malu menjadi “Santri” (Para Pencari Ilmu) Ok Sob.?! J
(21 Agustus 2014
pukul 20:52)
Jiaaah jadi ngebahas santri dah
heuheu
Maksud saya beberkan istilah shalat
dengan satu tafsiran (dari dimensi huruf) dan santri dengan hanya tiga
muatan saja (itu pun cuma sebatas huruf), supaya kita tak memakai kacamata kuda
saja dalam memandang apapun, termasuk memandang suatu istilah, kalimat atau
satu kata sekalipun. Jangan hanya satu arah. Mungkin atau malah bisa jadi masih
luas makna dan padat muatan yang terkandung dalam istilah shalat dan santri
selain yang tadi diatas. Bukan Yang Diatas ya, haha. Nah lho ada lagi.
Kata Yang Diatas sering dipahami bahwa Tuhan itu ada diposisi atas.
Masih ambigu emang. Entah diatas langit, entah diatas kenteng, teuing ah.
Yang penting dipositifin aja aku mah heuehu ... Maksudnya tuh mengagungkan
Tuhan. Sudah ya, bisi syirik haha.
Begitu pula dengan istilah atau kalimat ‘da aku mah apa atuh?’.
***
Shahibul Faroz, teman sekobong
ujug-ujug kaget ketika dia baca buku berbahasa Arab, Fiqh al-Lughah,
tentang kayanya bahasa―maklum anak DI, eits bukan DI/TII coy, tapi Dirasat Islamiyah salah
satu fakultas di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, jadi mainannya kitab terus. “Anjrit! Singa dalam
bahasa Arabnya téh aya 500 kata muradif (sinonim)-nya euy, bukan asadun
aja ternyata” kaget ia. “Komo onta mah.. kurang lebih ada 1000 kata
muradif-na, anjiiiis” takjubnya sambil jujungkeulan, heuheu. Tuh, singa dan
unta aja punya ratusan hingga ribuan padanan kata yang sama. Itu baru satu
bahasa. Belum bahasa yang lain. Coba deh, Indonesia ini kan kaya bahasa. Dari
Sabang sampai Merauke terhimpun akan luasnya bahasa. Jangan ke Papua dulu deh.
Di tanah Sunda/Jawa aja beragam bahasanya dari satu daerah dengan daerah lain.
Belum lagi daerah pedalamnannya. Antara kota dan desa pun beda bahasanya,
walaupun gak pake bingit. Sunda Banten dengan Sunda Cianjur, jauh banget men.
Sunda Banten itu notabene kasar, sedangkan Sunda Cianjur mayoritas halus. Tidak
usah dibandingkan dengan Sunda Cianjur, bandingin deh sama Sunda Bandung. Meski
Sunda Bandung lebih kasar dari Sunda Cianjur, tapi tetep yang paling terkenal
kasar Sundanya itu Banten.
Kok jadi ngomongin bahasa gini ya? Hahaha
Biarin deh, kan
ada hubungannya juga. Oleh karena kekayaan bahasa yang sangat beragam dan
luasnya makna yang sangat mendalam, maka penting untuk diteliti dahulu sebuah
istilah sebelum memahami, lalu pahami dulu kemudian baru silahkan menyalahkan
jika ada yang bertentangan. Jangan BoMat (Bodo aMat). Si Amat aja gak
bodo. Teliti dengan menuntut ilmu tiada jemu. Pahami dengan banyak bertanya
kepada yang ahli dan renungi apa yang telah dikaji, “ini pantas saya pakai gak
ya?” “ini baik untuk saya gunakan tidak ya?” “ini manfaat saya ungkapkan tidak
ya?”. Jika sudah mantap dan haqqul-yaqin (wah bukan ‘ilmul-yaqin wa
‘ainul-yaqin deui ieu mah) benar-benar situ sudah OK, ya sudah pakai,
gunakan lalu ungkapkan.
“Terus gimana
kalau ditolak mentah-mentah ama si do’i?” tanya si Joni, seorang yangbupperware
bin BaPer alias bawa perasaan.
“Udah, tembak
aja. Ungkapin aja dulu bahwa loe tuh cinta mati ama dia. Masalah diterima atau
ditolak mah hak prerogatif dia atuh!” tegas Kemod, sahabat karib Joni
yang mulai ikut-ikutan.
“Kan Allah juga
pernah nenangin Nabi Muhammad―pas beliau shalla-llahu alaihi wa salllam
udah susah-payah nyampein dakwah dari rumah ke rumah, eh ada yang nolak
mentah-mentah―‘udah Rasul, kalo emang mereka semua ogah masuk Islam, tinggalin
aja mereka pada. Pan tidak ada paksaan dalam agama, udah jelas kok mana yang
petunjuk untuk ke jalan yang benar dan mana petunjuk jalan yang sesat.
Tugas loe mah cuma nyampein doang. Lagipula semua yang udah mereka kerjain
bukan jadi tanggung jawab loe kok. Tenang aja.’”
Jelas seorang yang sangat agamis bernama Kemi.
Joni heran,“lha
Kem.. gimana ceritanya nih, setahu aku, firman Allah yang tercakup didalam
al-Qur`an kan bahasa Arab?”.
“Itu kalau bahasa kitanya Jon.. ah lu mah gak
merhatiin sih kalau MZ ceramah.” sahut Kemod.
“Bukannya Maher
Zein mah penyanyi solo Kem?”tukas Joni dengan tampang bege.
Kemi dengan
tersenyum kecut bilang,“Et dah Jon, Jon.. makanya, cari wawasan tuh yang luas
dong. Kudu kayak garuda yang bisa terbang kemana-kemana jadi tahu ini-itu.
Jangan kayak ayam, punya sayap tapi anteng aja jalan dibawah.”
Joni sudah tahu
itu perkara, sebenarnya dia ingin tahu saja bagaimana pendapat orang lain,
supaya dia dapat ilmu baru lagi itu malah merendah,“Da aku mah apa atuh..
meskipun bege akut dan sering mager juga, tapi pengen weh ari memperdalam ilmu
dengan merantau sampai ke ujung dunia mah.”
Kemod kenal betul
Joni. Dia sahabatan dengan Joni dari kecil. “Eh, pret lu jangan sembarang
ngomong,” Kemod membela Joni sambil nutupin mulutnya Kemi.
Kemod mulai
membeberkan rahasia Joni,“tau gak, si Joni ini punya banyak kelebihan daripada
kita lho Kem. Dia juara umum ke-1 terus berturut-turut waktu SMP sama SMAnya.
Keren gak tuh?” Muka Kemi pelan-pelan melongo, mulai merasa malu.
“Terus, dia jago silat vroh. Jangan salah. Walaupun dia pendiam, gak banyak
bacot, tapi begitu lu tantang dia berantem beueueuh lu bisa mental kena jurus
Cimacan-Cimandenye Kem.” Kaki Kemi sedikit-sedikit singsireumeun, tak
bisa berkutik, nyalinya mulai ciut. Itu baru Kemod yang memperagakan, belum si
Joni.“Joni pernah nganterin aki-aki nyebrang sampai ke lokasi si aki-aki
tinggal, ujan-ujanan padahal waktu itu. Aki-aki itu buta, dia pengen dianterin
ke tempat tinggalnya (untuk tidak menyebutkan gubuk, eh kesebut juga heuheu).
Masalahnya si aki tuh agak miring. Tapi Joni tetep mau nganterin. Pas
ketahuan ma Mang Tibox, terus dia sapa, eh si Joni langsung ngilang entah
kemana.”
Belum sempet Kemi
nyahut pernyataan Kemod, Kemod lanjut aja nyangkem,“Gitu tuh, adatnya si
Joni kalau udah ketahuan lagi berbuat baik.”
Baru ada
kesempatan Kemi bicara,“Mod, si Joni ilang!”
“Iya bener, emang
gitu adatnya Kem si Joni mah..”Kemod belum sadar.
“Ih beneraan! Si
Joni ngilang Mod!” bentak Kemi.
“Dibilangin lu
Kem, pan tadi gua udah ngomong; emang si Joni mah adatnya ngilang begitu aja..”
“Eh lho, Jon?” Kemod setengah sadar.“Jon?? Joni???!!!” Kemod full sadarnya.
“Aaaaah lu Mod,
gua kepang nih rambut lu. Pan tadi gua udah ngomong; si Joni ngilang!” Kemi
kesal.
“Jon?! Lu kemana?
Haduuuh bener kan, adatnya ilang mulu.” Teriak Kemod sambil melinangkan air
matanya.
Sejak
saat itulah Cep Joni menghilang. Entah ditelan bumi, entah diculik Kelong
Wewe/Wewe Gombel. Entah hilang karena tak mau orang-orang tahu akhlak baiknya,
entah memang begitulah sikapnya. Entah kabur sebab tak tahan ingin take a
leak atau take a dump, entah ada panggilan darurat. Entahlah..
muncul-muncul nanti di episode “Berkaca Lewat Cep Joni” heuheuheuheu Selamat
Membaca! ☺