Sebutir Debu
>> Sebuah Pengantar <<
Alhamdu lillâh, segala bentuk pujian hanya milik Allah subhânahu wa
ta’âlâ. Berupa pujian dari makhluk terhadap Allah, dari Allah untuk
makhluk-Nya, dari Allah untuk Dzat-Nya Sendiri maupun dari makhluk kepada
sesama makhluk lainnya. Semuanya bermuara dari Allah dan segala pujian yang
terjalin tersebut kembali pula kepada-Nya jalla jalâluh.
Shalawat beriring salam dan keberkahan, semoga tetap
selamanya dicurahkan kepada manusia terbaik ‘Ranking 1’ budi pekertinya sepanjang
abad yang takkan tenggelam oleh banjir cacian, takkan tertelan oleh gempa makian,
takkan rusak oleh api hardikan, dan takkan lenyap oleh topan hujatan, siapa lagi
kalau bukan Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam, pemimpin seluruh umat manusia dari
muqaddimah hingga ending cerita hidup ini berakhir. Juga tak lupa
shalawat-salam-keberkahan itu ditujukan kepada keluarganya, para Sahabatnya,
tabi’in-tabi’atnya serta seluruh umatnya sampai waktu harus berhenti
dan rapuh.
Huruf, kata,
kalimat, istilah baik yang JaDul dan ‘kekinian’ walaupun hanya
satu digit saja dapat mengandung triliunan makna dan cerita. Ditambah banyaknya
otak yang memancing apa makna dan cerita dibalik suatu istilah. Belum lagi
pro-kontra, penisbatan di dalamnya, memacu lalu melahirkan istilah lain yang
baru. Bahkan dijadikan manufer politik. Kenyataan ini membuat sim-kuring galau.
Galau karena cuma nyebut ‘sahabat’, kawan sim-kuring sensi. Ngucapin ‘kawan’,
giliran sahabat sim-kuring yang risih. Manggil ‘akhi-ukhti’, dinda-kanda
sim-kuring malah pada ngeri. Apa salahnya memakai semua istilah itu sih?
Punya seribu teman itu belum cukup, tapi punya musuh satu pun itu sudah ..
sudah jangan ditambah!
Lho kok serius
amat? Si Amat aja gak serius, hehe.
Fakta tersebut di
atas memicu sim-kuring untuk coba-coba menelaah kalimat ‘Da aku mah
apa atuh?’ yang menjadi trend anak Sunda beberapa tahun lalu.
Tiba-tiba sim-kuring penasaran, apa sih maknanya? Masa sekadar kalimat
konyol yang diucapkan ketika seseorang tidak PD lagi menjalin hubungan dengan
si do’I (bukan Do’a Ibu ye). Oleh karena itu, sim-kuring mengambil langkah positive
thinking saja dalam mengupasnya. Untung saat mengupasnya jempol sim-kuring tak teriris
seperti para wanita bangsawan saat memandang wajah Nabi Yusuf ‘alaihissalam.
Kalau-kalau jempol sim-kuring teriris, sim-kuring gak bisa ngasih jempol alias
nge-like lagi dong. Ngelike dinda-kanda, eh akhi-ukhti, eh kawan, eh
maksud saya sahabat. Aaduuh Ozaaaaan, jadi kagok kan?!
Sebelum sim-kuring
temukan mutiara tawâdhu’ dalam mulut tiram bergenus daaku maha paatuh,
sim-kuring sempat terperanjat bertemu cahaya Manunggaling Kawulo-Gusti yang
muncul dari lumpur kontraversi. Selama ini, bisa jadi sim-kuirng dan Anda
menganggap paham Syekh Siti Jenar atau Syaikh Lemah Abang alias Syaikh Datuk Abdul Jalil itu sebagai suatu paham yang berbahaya dan
sesat jika disebar-luaskan ke khalayak ramai. Namun, K. Ng. H Agus Sunyoto
dalam novel sejarahnya Suluk Abdul Jalil Syaikh Siti Jenar memaparkan paham itu dengan nuansa yang berbeda. Istilah ‘kawulo’ dan
‘gusti’ memang sama-sama punya arti ‘aku’, lalu mengapa
harus ‘manunggaling’? Sebabnya pada waktu itu penguasa absolut, monarki,
raja mentang-mentang gusti (keberdayaan manusia satu atas manusia
lainnya) semena-mena
memperlakukan rakyatnya yang kawulo berkonotasi ketakberdayaan manusia
satu atas manusia yang lain. Oleh karenanya Syekh Siti Jenar alias Syekh Datuk
Abdul Jalil ingin menempatkan setiap individu pada derajat yang sama dan
memiliki hak-hak dasar yang tidak dapat diganggu oleh siapa pun, termasuk
pengendalian hak-hak prerogatif raja. Manunggaling kawulo-gusti menjadi masyarakat. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar