Antara Tawadhu’ dan Tawaduk
”وَكَانَ ﷺ شَدِيْدَ الْحَيَاءِ وَالتَّوَاضُّعِ, يَخْصِفُ
نَعْلَهُ وَيَرْقَعُ ثَوْبَهُ وَيَحْلُبُ شَاتَهُ وَيَسِيْرُ فِيْ خِدْمَةِ
اَهْلِهٖ بِسِيْرَةٍ سَرِيَّهْ“—البرزنجي
D
|
ikarenakan
rendah hati cakupannya horizontal, maka yang dibahas mungkin terkesan manusia
saja. Kredo masyarakat socmed, “Mendekatkan yang jauh dan menjauhkan
yang dekat” jangan sampai terjadi pada kita. Lebih-lebih dengan hubungan yang
paling dekat dengan kita. Yang paling dekat kita, siapa lagi kalau bukan Tuhan?
Tuhan itu lebih dekat ketimbang urat nadi brow-sist. Sayangnya, Indonesian
netizen terlanjur mengaitkan “Da, aku mah apa atuh?” dengan konflik
percintaan baik dalam bentuk mention BBM, WhatsApp, LINE, update status
di Facebook, Twitter, dan Path, maupun dalam bentuk upload foto dan
video di Instagram dan YouTube. Misal kalimat, “Da, aku mah apa atuh? Hanya
seperti bola yang selalu dipermainkan”. Remaja atau ababil (Anak
BAru laBIL) dan generasi alay pasti langsung mengaitkannya dengan hati
seseorang yang selalu dipermainkan kekasihnya yang playboy/playgirl.
Seperti yang terdapat pada kedua lirik lagu yang telah disungging, eh
disinggung sebelumnya.
Dominan masyarakat Indonesia boleh jadi lebih sering
mendengar kata tawadhu’ ketimbang rendah hati. Hanya saja ada hal sepele
yang perlu diperhatikan, yakni masalah teknis transliterasi (pengalihan
satu tulisan bahasa ke tulisan bahasa lain). Coba deh perhatiin; sering
kita temui kata تَوَاضُع ditransliterasikan ke dalam bahasa Indonesia
menjadi tawaduk. “What??
Waduk?!” tuh kan, orang yang kena sindrom penyakit nular ‘H. Bolot’
langsung nyolot. Disitu saya kadang merasa sedih. Kan gak enak. Gak enaknya kalau udah kebiasaan nulis tawaduk, kesannya tuh gimanaa gitu. Yuk, kita gerakkan menulis tawadhu’ bukan tawaduk dari sekarang! Biar orang-orang enak baca ‘n dengernya. Setuju?? Saya anggap Anda setuju heuheu. Ok sip (y)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar